Sabtu, 29 Oktober 2011

Syair syufi Jalaludin Rumi,"hati Adalah Cermin"





color="#FF0000">"HATI ADALAH CERMIN"


Setiap orang melihat Yang Tak Terlihat
dalam persemayaman hatinya.
Dan penglihatan itu bergantung pada seberapakah
ia menggosok hati tersebut.
Bagi siapa yang menggosoknya hingga kilap,
maka bentuk-bentuk Yang Tak Terlihat
semakin nyata baginya.


Di manapun, jalan untuk mencapai kesucian hati
ialah melalui kerendahan hati.
Maka dia akan sampai pada jawaban “Ya” dalam
pertanyaan
Bukankah Aku Tuhanmu?



Seperti bentuk dalam sebuah cermin, kuikuti Wajah itu.
Tuhan menampakkan dan menyembunyikan sifat-sifat-
Nya.
Tatkala Tuhan tertawa, maka akupun tertawa.
Dan manakala Tuhan gelisah, maka gelisahlah aku.
Maka katakana tentang Diri-Mu, ya Tuhan.
Agar segala makna terpahami, sebab mutiara-mutiara
makna yang telah aku rentangkan di atas kalung
pembicaraan
berasal dari lautanmu.



Tuhan berada dimana-mana.
Ia juga hadir dalam tiap gerak.
Namun Tuhan tidak bisa ditunjuk dengan ini dan itu.
Sebab wajah-Nya terpantul dalam keseluruhan ruang.
Walaupun sebenarnya Tuhan itu mengatasi ruang.
Lihatlah yang Terdalam
Jangan kau seperti iblis,
Hanya melihat air dan lumpur ketika memandang
Adam.
Lihatlah di balik lumpur,
Beratus-ratus ribu taman yang indah!
Keterasingan di Dunia.



Mengapa hati begitu terasing dalam dua dunia?
Itu disebabkan Tuhan Yang Tanpa Ruang,
Kita lemparkan menjadi terbatasi ruang.


Jika saja bukan karena keridhaan-Mu,
Apa yang dapat dilakukan oleh manusia yang seperti
debu ini tanpa cinta- Mu.



Kebenaran sepenuhnya bersemayam di dalam hakekat,
Tapi orang dungu mencarinya di dalam kenampakan.



Apapun yang kau dengar dan katakan (tentang Cinta),
Itu semua hanyalah kulit.
Sebab, inti dari Cinta adalah sebuah
rahasia yang tak terungkapkan.



Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,
Segera saja bagai duri bakarlah aku.
Meskipun aku diam tenang bagai ikan,
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku,
Tariklah misaiku ke dekat-Mu.
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?
Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini
selalu.
Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu,
Bagai unta memahah biak makanannya,
Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa.
Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara,
Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata.
Aku bagai benih di bawah tanah,
Aku menanti tanda musim semi.
Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas
wangi,
Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai
kepala lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar